Kamis, 25 Desember 2014

MAKALAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN (PENDIDIKAN DAN GENDER)



Daftar Isi

Kata Pengantar.................................................................................................................... i
Daftar isi.............................................................................................................................. ii
Bab I Pendahuluan.............................................................................................................. 1
A.    Latar Belakang........................................................................................................ 1
B.     Rumusan Masalah.................................................................................................... 1
C.     Tujuan...................................................................................................................... 1
Bab II Pembahasan.............................................................................................................. 2
A.    Pengertian Gender................................................................................................... 2
B.     Keadaan Pendidikan Indonesia dengan adanya Kesenjangan Gender................... 3
C.     Hubungan Pendidikan dan Gender......................................................................... 6
Bab III Penutup................................................................................................................... 11
A.    Kesimpulan.............................................................................................................. 11
Daftar Pustaka..................................................................................................................... 12

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Setiap produk pendidikan merupakan investasi masa depan seseorang, tetapi bila pendidikan dilihat dari segi gender maka data statistic tentang pendidikan formal menggambarkan masih menggenjala ketimpangan gender dan semakin mencolok pada strata yang semakin tinggi. 
                 Sejak sepuluh tahun terakhir kata gender telah memasuki  perbendaharaan disetiap diskusi dan tulisan sekitar perubahan social dan pembangunan di Dunia ketiga. Demikian juga di Indonesia, hamper semua uraian tentang program pengembangan masyarakat maupun pembangunan dikalangan organisasi non pemerintah diperbincangkan masalah gender.
                 Dari pengamatan, masih terjadi ketidakjelasan, kesalahfahaman, tentang apa itu yang dimaksud dengan konsep gender dan kaitannya dengan usaha emansipasi kaum perempuan. Setidak-tidaknya ada beberapa penyebab terjadinya ketidak jelasan tersebut. Kata gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris. Kalau dilihat dalam kamus, tidak secara jelas dibedakan pengertian kata sex dan gender. Sementara itu, belum ada uraian yang yang mampu menjelaskan secara singkat dan jelas mengenai konsep gender dan mengapa tersebut penting guna memahami system ketidakadilan sosial. Dengan kata lain timbulnya ketidakjelasan itu disebabkan oleh kurangnya penjelasan tentang kaitan antara konsep gender dengan masalah ketidakadilan lainnya.
B.        Rumusan masalah
1.      Apakah yang di maksud dengan gender
2.      Bagaimana keadaan pendidikan Indonesia dengan adanya kesenjangan gender
3.      Bagaimana hubungan gender dan pendidikan
C.      Tujuan
1.      Mengetahui maksud pengertian gender
2.      Mengetahui keadaan pendidikan Indonesia dengan adanya kesenjangan gender
3.      Mengetahui hubungan dan kaitan antara gender dan pendidikan




BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Gender
Kata “gender” berasal dari bahasa Inggris, gender berarti “jenis kelamin”, dimana sebenarnya artinya kurang tepat, karena dengan demikian gender disamakan pengertiannya dengan sex yang berarti jenis kelamin. Dalam Webster’s New World Dictionary gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku (Neudfeldt dalam Umar, 1999). Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Tierney dalam Umar, 1999).
Meskipun kata gender belum masuk dalam pembendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara ­­­Urusan Peranan Wanita dengan ejaan “jender”. Jender diartikan sebagai “interprestasi mental dan kultural terhada perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan”. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.
Pengertian gender menurut Fakih (2001) adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Pengertian tersebut sejalan dengan kesimpulan yang diambil oleh Umar (1995) yang mendefinisikan gender sebagai suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasikan perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi-budaya. Sehingga gender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut pandang non-biologis.
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengetahuan jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin tertentu. Manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memeiliki atau bersifat seperti daftar berikut ini: laki-laki adalah manusia yang memiliki alat kelamin yang memproduksi sperma, memiliki jakala (kala menjing). Perempuan memiliki alat reproduksi seperti: rahim, dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis tidak dapat dipertukarkan menurut fungsinya antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki dan perempuan. Secara permanen tidak berubah dn merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan (kodrat).

Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.
Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender, yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasioanl, jantan, perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Misalnya saja, zaman dahulu disuatu suku tertentu perempuan lebih kuat dari laki-laki yang lebih kuat. Juga, perubahan bias terjadi dari kelas ke kelas masyarkat yang berbeda. Di suku tertentu, perempuan kelas bawah di pedesaan lebih kuat dibandingkan kaum laki-laki. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki. Yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender.[1]
B.       Kedaan Pendidikan Indonesia dengan Adanya Kesenjangan Gender
Berbagai  program pemerintah seperti Program Sekolah Satu Atap (menyatukan SD dan SMP), Pembangunan ‘Sekolah Kecil’, Sekolah Satelit di daerah miskin dan terpencil, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Beasiswa Siswa Miskin, Bantuan Langsung Tunai
dan Dana Alokasi Khusus telah berhasil mengurangi hambatan akses terhadap pendidikan. Tahun 2009, Indeks Paritas Gender (IPG) nasional melek huruf untuk kelompok usia 15-24 tahun hampir 100, dengan tingkat melek huruf perempuan sebesar 99,4% dan laki-laki 99,5% (lihat Gambar 1). Namun, di 16 propinsi tingkat melek huruf untuk perempuan kelompok usia ini masih sedikit dibawah laki-laki, (Bappenas. 2010).
Indonesia telah mencapai kemajuan yang signifikan dalam kesetaraan gender untuk Angka Partisipasi Murni (APM) di tingkat nasional. Tahun 2009, IPG di sekolah dasar (SD / MI / Paket A) adalah 99,73, sementara di sekolah menengah pertama (SMP/MTs/Paket B) 101,99, sekolah menengah atas (SMA/MA/Paket C) 96,16, dan pendidikan tinggi 102,95. Disparitas antar propinsi dan dalam propinsi yang sama tetap ada. angka transisi dari SD ke SMA anak laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan. Data tingkat propinsi menunjukkan bahwa 11 propinsi memiliki kesenjangan paritas gender yang sangat signifikan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu sekitar 10-23% lebih tinggi untuk anak laki-laki. Ada 4 propinsi di mana angka transisi anak perempuan mencapai 4% lebih tinggi dibanding lakilaki dan satu propinsi di mana angka transisi anak perempuan hampir 48% lebih tinggi dibanding laki-laki.
Data Susenas 2009 menyoroti tanggapan yang responsif gender yang diberikan oleh populasi usia 7-18 tahun terkait alasan putus sekolah. Kurangnyakemampuan menjadi masalah utama bagi laki-laki, dengan 10,78% di antaranya mengatakan bahwa mereka putus sekolah untuk bekerja dan memperoleh penghasilan, dibanding 8,69% perempuan. Adat masih merupakan faktor kuat yang mempengaruhi akses dan pernikahan dini masih menjadi penghalang utama. Sebanyak 6,07% perempuan menjadikan ini sebagai alasan putus sekolah dibanding 0,14% laki-laki. Prevalensi pernikahan dini dapat ditemukan di Indramayu, Jawa Barat dan di beberapa kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur. Peraturan terkait dukungan sekolah terhadap perempuan usia sekolah yang sudah menikah, hamil atau ibu-ibu muda,tidak jelas. Jarak sekolah, permasalahan keselamatan dan biaya terkait perjalanan jarak jauh juga menjadi penghalang untuk melanjutkan pendidikan bagi  lebih dari 0,32% perempuan dibanding 0,66% laki-laki di kota dan 4,18% perempuan dibanding 3,98% laki-laki di wilayah perkotaan dan terutama di pedesaan (BPS-Susenas, 2009). Terbatasnya fasilitas sanitasi yang terpisah bagi perempuan, yang dibutuhkan untuk keperluan menstruasi berpengaruh terhadap kerutinan kehadiran di sekolah. Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa adanya toilet terpisah di Madrasah menaikkan angka transisi anak perempuan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dengan rata-rata 5 persen poin, dibanding sekolah-sekolah yang tidak memiliki fasilitas tersebut, (Austen et al, 2009).
Mengingat bahwa lebih banyak perempuan daripada laki-laki yang bersekolah di SMP dan SMA madrasah, dimana 48,5% perempuan di MI, 50,8% di MTs, dan 54,3% di MA pada tahun 2008/2009, maka program peningkatan kualitas di Madrasah dan pelatihan pengarusutamaan gender bagi kader pendidik perempuan dan laki-laki agar mereka memiliki perspektif gender, akan memberikan kontribusi pada upaya kesetaraan gender dan penurunan kesenjangan ekonomi, karena sekolah sekolah ini menerima banyak siswa miskin. Untuk mengatasi struktur patriarki yang masih dominan dalam sistem pendidikan Islam di Indonesia, dibutuhkan pedoman dan sumberdaya yang memadai untuk melaksanakan pengarusutamaan gender di semua jenjang pendidikan. Pemerintah tengah merumuskan pedoman pengarusutamaan gender untuk Madrasah, yang harus disebar-luaskan dan ini membutuhkan pengembangan kapasitas disemua tingkat untuk memastikan pelaksanaannya. Untuk itu, harus diperhitungkan perlunya interpretasi ajaran Islam yang menggunakan perspektif gender atau bahkan perspektif perempuan yang lebih terbuka. Interpretasi ini perlu dimasukkan dalam kurikulum dan buku teks, dan/atau instrumen politik yang digunakan untuk tujuan memfasilitasi tercakupnya aspek-aspek tersebut. Semua Pusat Studi Wanita IAIN/UIN menekankan pentingnya penggunaan pendekatan gender dalam studi mengenai Islam dan berkomitmen untuk menggunakan hasilnya untuk mereformasi kurikulum dan buku teks. Terbatasnya pendanaan menghambat dilakukannya lebih banyak inisiatif penelitian yang inovatif dan kegiatan pengarusutamaan gender lainnya di tingkat pendidikan tinggi, (Kull, 2009). Sebagai contoh, sudah banyak buku teks yang menggunakan perspektif gender diproduksi bagi siswa perguruan tinggi jurusan studi Islam di UIN Jakarta. Namun, buku-buku ini tidak dicetak karena kurangnya dana. Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Yogyakarta merekomendasikan perumusan kebijakan yang jelas, yang mengatur pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan dalam setiap kegiatan, termasuk dalam posisi kepemimpinan, manajemen dan akademik. Mereka menekankan perlunya memasukkan perspektif gender secara eksplisit dan implisit dalam kurikulum serta pelatihan bagi semua guru yang melaksanakan pengarusutamaan gender, (Kull, 2009).
Kesetaraan gender dinyatakan sebagai prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014. Meskipun tidak ada target gender yang spesifik, pengarusutamaan prioritas pendidikan dalam RPJM 2010-2014 harus didukung oleh analisa gender yang sistematis. Analisa menyangkut antara lain: a) Peningkatan angka rata-rata tetap sekolah siswa usia 15 tahun keatas; b) Penurunan tingkat buta aksara populasi usia 15 keatas; c) Peningkatan APM di SD; d) Peningkatan APM di SMP; e)  Peningkatan angka partisipasi kasar di SMA; f ) Peningkatan angka partisipasi kasar di universitas kelompok usia 19- 23 tahun, dan g) Penurunan kesenjangan dalam partisipasi dan mutu pelayanan pendidikan. Peningkatan yang signifikan dalam alokasi anggaran (20%) mencerminkan komitmen Pemerintah terhadap upaya perbaikan pendidikan. Inisiatif penting yang dilakukan pada tahun 2010 adalah dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan No.119/2009 tentang pelaksanaan anggaran responsif gender di tujuh instansi pemerintah, termasuk Kemendiknas. Propinsi yang kaya sumberdaya bisa mempercepat kemajuan dengan menyediakan dana pendamping untuk program-program pemerintah yang ada, seperti beasiswa bagi siswa perempuan dan laki-laki miskin untuk menghilangkan disparitas gender (APM, putus sekolah dan transisi) di kabupaten/kota yang membutuhkannya. Untuk kabupaten/kota yang miskin sumberdaya, perlu dipertimbangkan perumusan strategi beasiswa dan perluasan sumberdaya. Untuk itu, perancangan system pendidikan yang berlandaskan pada nilainilai kemanusiaan, menjadi bagian sangat penting untuk dilakukan, guna meningkatkan kualitas kehidupan manusia sebagai makhluk social dan makhluk berpendidikan. Sebab, berbicara terkait sejumlah isu mengenai Hak Asasi Manusia (HAM), akan sangat erat kaitannya dengan perkembangan kehidupan manusia secara global. Agar dapat dijalankan sebuah konsepsi, perlu dirancang sistem pendidikan Indonesia yang menjungjung tinggi hak dasar bagi manusia dengan berlandaskan pada demokrasi pancasila, agar mengarah pada perbaikan dalam bidang Hak Asasi Manusia (HAM) pendidikan Indonesia, pemikiran dari James A. Beane dan Micchael W. Apple dapat menjadi rujukan yang cukup tepat, untuk Indonesia sebab sebagaimana pernyataannya bahwa: Pendidikan demokratis tiada lain adalah mengimplementasikan pola-pola demokratis dalam pengelolaan pendidikan, yang secara umum mencakup dua aspek, yakni struktur organisasi dan prosedur kerja dalam struktur tersebut, serta merancang kurikulum yang bisa mengantarkan pribadi Indonesia memiliki berbagai pengalaman tentang prakti-praktik demokrasi. Dengan kata lain pendidikan demokratis adalah pendidikan yang dikelola dengan memungkinkannya praktik-praktik demokratis itu terlaksana.
C.      Hubungan Gender Dengan Pendidikan
Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan, serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Dengan kata lain, penyetaraan gender tersebut dijalankan secara proporsional.
Peningkatan yang signifikan dalam alokasi anggaran (20%) mencerminkan komitmen Pemerintah terhadap upaya perbaikan pendidikan. Inisiatif penting yang dilakukan pada tahun 2010 adalah dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan No.119/2009 tentang pelaksanaan anggaran responsif gender di tujuh instansi pemerintah, termasuk Kemendiknas. Propinsi yang kaya sumberdaya bisa mempercepat kemajuan dengan menyediakan dana pendamping untuk program-program pemerintah yang ada, seperti beasiswa bagi siswa perempuan dan laki-laki miskin untuk menghilangkan disparitas gender (APM, putus sekolah dan transisi) di kabupaten/kota yang membutuhkannya. Untuk kabupaten/kota yang miskin sumberdaya, perlu dipertimbangkan perumusan strategi beasiswa dan perluasan sumberdaya.
Pemerintah memberikan beberapa rekomendasi bagi keadaan pendidikan yang sedikit terhambat dengan adanya gender saan ini, yakni sebagai berikut :
Ø  Kemendiknas, Kemenag dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan & Perlingunan Anak (KPPA) mengkoordinasikan kebijakan dan strategi yang terfokus pada penghapusan disparitas rasio gender untuk indikator pendidikan pada semua jenjang pendidikan di tingkat propinsi dan kabupaten/ kota, serta memperkuat pelaksanaan pengarusutamaan gender di semua tingkatan di bidang pendidikan.
Ø   Kemendiknas mengkaji kemajuan yang dicapai dalam pelaksanaan Peraturan Menteri No. 84/2008 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pendidikan di tingkat sekolah dan kabupaten/kota dan untuk memperkuat pelaksanaan Keputusan Menteri yang bertujuan mencapai pendidikan yang responsive gender dengan pengembangan kapasitas di semua tingkatan dalam sistem pendidikan.
Ø  Kemendiknas dan Kemenag melakukan penilaian terhadap sejumlah sekolah sampel di beberapa lokasi geografis yang berbeda tentang cara-cara pengintegarsian kebijakan gender dalam rencana dan pelaksanaan manajemen sekolah.
Ø  Kemendiknas dan Kemenag mengkaji dengan menggunakan perspektif gender, Peraturan Pemerintah tentang Anggaran propinsi dan kabupaten/ kota, dan Peraturan Kemendagri No. 13/2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Keputusan Menteri Keuangan No. 119/2009 tentang Anggaran responsif gender.
Ø  Kemendiknas dan Kemenag memberikan lebih banyak perhatian pada propinsi yang belum berhasil dalam menurunkan rasio paritas gender, transisi dan angka putus sekolah, dengan membuat rancangan strategi berdasar kebutuhan yang ada, dengan memperhitungkan faktor-faktor dasar yang berkontribusi terhadap rendahnya pencapaian indikator di propinsi dan kabupaten/kota.
Ø  Kemendiknas mempercepat program pelatihan yang ada untuk meningkatkan kapasitas pengumpulan data terpilah berdasar gender, analisa dan perencanaan dan penganggaran responsif gender di tingkat propinsi dan kabupaten/kota untuk indicator tertentu.
Ø  Mempercepat program yang ada yang terkait akses pendidikan dan memprioritaskan propinsi yang memiliki kesenjangan paritas gender yang signifikan dalam indikator pendidikan. Ini termasuk Program Sekolah Satu Atap (gabungan SD & SMP), Sekolah Kecil, Sekolah Satelit di daerah miskin dan terpencil dan program Bantuan Langsung Tunai Bersyarat. Meningkatkan cakupan dan kualitas program pemerataan (Paket A, B dan C), khususnya jika disparitas rasio gender terjadi pada angka putus sekolah untuk meningkatkan akses terhadap pendidikan berkualitas. Perlu juga dilakukan kajian untuk melihat efektifitas skema yang digunakan untuk mengatasi kesenjangan gender.
Ø  Mengembangkan kebijakan dan mensinkronisasinya di tingkat nasional, daerah dan sekolah untuk  memastikan bahwa perempuan yang menikah dini, hamil dan ibu muda bisa melanjutkan pendidikan. Melaksanakan kampanye untuk membangun kesadaran akan pentingnya mengurangi insiden pernikahan dini dan mendorong kelangsungan pendidikan bagi laki-laki, dan apalagi perempuan, yang menikah dini.
Ø  Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan/LPTK perlu mengkaji kurikulum pelatihan guru untuk memperbaiki penyusunan materi dan keterampilan mengajar sehingga responsif gender.
Ø  Kemendiknas dan Kemenag mengkaji dan meningkatkan penyediaan buku teks pelajaran yang peka gender pada semua tingkat pendidikan, termasuk teks, gambar dan akses yang sama terhadap kegiatan ekstra-kurikuler olahraga, seni dan sains.
Ø  Kemendiknas memastikan mekanisme pembiayaan pendidikan bersifat responsif gender. Misalnya, ketika membiayai infrastruktur dan rehabilitasi sekolah baru, dan merancang bangunan sekolah, maka harus memenuhi kebutuhan praktis lakilaki dan perempuan. Di SMP dan SMA, perlu ada fasilitas sanitasi yang terpisah dan memadai bagi perempuan, untuk keperluan terkait menstruasi. Kemendiknas dan Kemenag merumuskan kebijakan yang jelas, yang mengatur penempatan laki-laki dan perempuan yang memenuhi kualifikasi di semua kegiatan pendidikan (termasuk pendidikan Islam), terutama dalam posisi kepemimpinan, manajemen, dan akademik di semua tingkatan pendidikan (sistem sejenis sudah terlaksana di lapangan dengan adanya perwakilan dalam partai politik dan parlemen).
Pengarus utamaan gender di Kementerian diamanatkan melalui Keputusan Presiden no. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender. Kemendiknas merupakan salah satu Kementerian yang pertama kali dilibatkan dalam pengembangan rencana pengarusutamaan gender dan penunjukkan focal point gender. Tahun 2005 dihasilkan dokumen yang berisi ketentuan pengarusutamaan gender, yang kemudian diikuti dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri No.84/2008 untuk sektor ini. Kantor Kepresidenan dan Kemendiknas menghasilkan kerangka legislasi dan peraturan yang komprehensif, termasuk Keputusan Presiden khusus untuk pemberantasan buta aksara dan pencapaian 9 tahun pendidikan dasar bagi semua anak, yang berdasar pada Undang Undang Pendidikan Nasional No. 20/2003 yang telah direvisi. Masih diperlukan analisa untuk mengetahui apakah konteks kebijakan ini sudah cukup untuk melaksanakan pengarusutamaan gender dengan berhasil. Juga masih diperlukan asesmen tentang peluang dan kendala di tingkat kebijakan. Instrumen perencanaan kebijakan seperti pemetaan sekolah yang dilakukan secara partisipatif dan kualitatif, dan survei tingkat kepuasan orangtua terkait akses, kualitas dan dampak pada retensi dan transisi anak perempuan dan laki-laki, dapat digunakan sebagai masukan bagi perencanaan dan pengembangan sumberdaya selanjutnya. Kajian perlu juga ditujukan untuk melihat bagaimana pandangan orangtua berpengaruh pada angka putus sekolah dan kinerja mereka di sekolah dan ini dapat menjadi masukan untuk persiapan kampanye yang ditujukan bagi peningkatan kesadaran orang tua. Sebagai contoh, pemetaan sekolah dikembangkan dan dilaksanakan oleh Kemendiknas dan UNICEF sementara survey kepuasan dilaksanakan di Kabupaten Indramayu oleh Bappenas bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor, yang didukung oleh program PRMAP ADB.





















BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
·         Kata “gender” berasal dari bahasa Inggris, gender berarti “jenis kelamin”, dimana sebenarnya artinya kurang tepat, karena dengan demikian gender disamakan pengertiannya dengan sex yang berarti jenis kelamin. Dalam Webster’s New World Dictionary gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku (Neudfeldt dalam Umar, 1999). Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Tierney dalam Umar, 1999).
Meskipun kata gender belum masuk dalam pembendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara ­­­Urusan Peranan Wanita dengan ejaan “jender”. Jender diartikan sebagai “interprestasi mental dan kultural terhada perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan”. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.
·         Indonesia telah mencapai kemajuan yang signifikan dalam kesetaraan gender untuk Angka Partisipasi Murni (APM) di tingkat nasional. Tahun 2009, IPG di sekolah dasar (SD / MI / Paket A) adalah 99,73, sementara di sekolah menengah pertama (SMP/MTs/Paket B) 101,99, sekolah menengah atas (SMA/MA/Paket C) 96,16, dan pendidikan tinggi 102,95. Disparitas antar propinsi dan dalam propinsi yang sama tetap ada. angka transisi dari SD ke SMA anak laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan. Data tingkat propinsi menunjukkan bahwa 11 propinsi memiliki kesenjangan paritas gender yang sangat signifikan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu sekitar 10-23% lebih tinggi untuk anak laki-laki. Ada 4 propinsi di mana angka transisi anak perempuan mencapai 4% lebih tinggi dibanding lakilaki dan satu propinsi di mana angka transisi anak perempuan hampir 48% lebih tinggi dibanding laki-laki.




























Daftar Pustaka
TENGAH, Jawa; DAERAH, Dewan Riset. GENDER DAN PENDIDIKAN. 2001.

Abdullah, Irwan. "Penelitian Berwawasan Gender dalam Ilmu Sosial." Jurnal Humaniora 15.3 (2012).

Martadi, Indiana Farid, and Sri Suranta. "Persepsi Akuntan, Mahasiswa Akutansi, dan Karyawan Bagian Akutansi dipandang dari Segi Gender Terhadap Etika Bisnis dan Etika Profesi (Studi di Wilayah Surakarta)." Simposium Nasional Akuntansi (SNA) IX. Padang (2006): 23-26.
Kementrian Pemberdayaan perempuan dan Anak Republik Indonesia, Policy Brief kertas kebijakan Gender Equality, indo idd














[1] Fakih,Dr Mansoer, Analisis gender, dan transformasi sosial, pustaka pelajar, Yogyakarta, 2013