Daftar
Isi
Kata Pengantar....................................................................................................................
i
Daftar isi..............................................................................................................................
ii
Bab I Pendahuluan..............................................................................................................
1
A.
Latar
Belakang........................................................................................................ 1
B.
Rumusan
Masalah.................................................................................................... 1
C.
Tujuan...................................................................................................................... 1
Bab II Pembahasan.............................................................................................................. 2
A.
Pengertian
Gender................................................................................................... 2
B.
Keadaan
Pendidikan Indonesia dengan adanya Kesenjangan Gender................... 3
C.
Hubungan
Pendidikan dan Gender......................................................................... 6
Bab III Penutup................................................................................................................... 11
A.
Kesimpulan.............................................................................................................. 11
Daftar Pustaka..................................................................................................................... 12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap produk pendidikan merupakan investasi masa depan seseorang,
tetapi bila pendidikan dilihat dari segi gender maka data statistic tentang
pendidikan formal menggambarkan masih menggenjala ketimpangan gender dan
semakin mencolok pada strata yang semakin tinggi.
Sejak sepuluh
tahun terakhir kata gender telah memasuki
perbendaharaan disetiap diskusi dan tulisan sekitar perubahan social dan
pembangunan di Dunia ketiga. Demikian juga di Indonesia, hamper semua uraian
tentang program pengembangan masyarakat maupun pembangunan dikalangan
organisasi non pemerintah diperbincangkan masalah gender.
Dari
pengamatan, masih terjadi ketidakjelasan, kesalahfahaman, tentang apa itu yang
dimaksud dengan konsep gender dan kaitannya dengan usaha emansipasi kaum
perempuan. Setidak-tidaknya ada beberapa penyebab terjadinya ketidak jelasan
tersebut. Kata gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris.
Kalau dilihat dalam kamus, tidak secara jelas dibedakan pengertian kata sex dan
gender. Sementara itu, belum ada uraian yang yang mampu menjelaskan secara
singkat dan jelas mengenai konsep gender dan mengapa tersebut penting guna
memahami system ketidakadilan sosial. Dengan kata lain timbulnya ketidakjelasan
itu disebabkan oleh kurangnya penjelasan tentang kaitan antara konsep gender
dengan masalah ketidakadilan lainnya.
B.
Rumusan masalah
1.
Apakah yang di maksud dengan gender
2.
Bagaimana keadaan
pendidikan Indonesia dengan adanya kesenjangan gender
3.
Bagaimana
hubungan gender dan pendidikan
C.
Tujuan
1. Mengetahui maksud pengertian gender
2. Mengetahui keadaan
pendidikan Indonesia dengan adanya kesenjangan gender
3. Mengetahui hubungan dan kaitan antara gender dan pendidikan
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Gender
Kata “gender” berasal dari bahasa Inggris, gender berarti
“jenis kelamin”, dimana sebenarnya artinya kurang tepat, karena dengan demikian
gender disamakan pengertiannya dengan sex yang berarti jenis kelamin.
Dalam Webster’s New World Dictionary gender diartikan sebagai perbedaan
yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah
laku (Neudfeldt dalam Umar, 1999). Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan
bahwa gender adalah konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction)
dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional laki-laki
dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Tierney dalam Umar, 1999).
Meskipun kata
gender belum masuk dalam pembendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah
tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan
Peranan Wanita dengan ejaan “jender”. Jender diartikan sebagai “interprestasi
mental dan kultural terhada perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan”.
Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap
tepat bagi laki-laki dan perempuan.
Pengertian
gender menurut Fakih (2001) adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki
maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Pengertian
tersebut sejalan dengan kesimpulan yang diambil oleh Umar (1995) yang
mendefinisikan gender sebagai suatu konsep yang digunakan untuk
mengidentifikasikan perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi-budaya.
Sehingga gender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari
sudut pandang non-biologis.
Untuk
memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks (jenis
kelamin). Pengetahuan jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua
jenis kelamin tertentu. Manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memeiliki
atau bersifat seperti daftar berikut ini: laki-laki adalah manusia yang
memiliki alat kelamin yang memproduksi sperma, memiliki jakala (kala menjing).
Perempuan memiliki alat reproduksi seperti: rahim, dan saluran untuk
melahirkan, memproduksi telur, dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut
secara biologis tidak dapat dipertukarkan menurut fungsinya antara alat
biologis yang melekat pada manusia laki-laki dan perempuan. Secara permanen
tidak berubah dn merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai
ketentuan Tuhan (kodrat).
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan
kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis
kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang
ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.
Sedangkan
konsep lainnya adalah konsep gender, yakni suatu sifat yang melekat pada kaum
laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.
Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau
keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasioanl, jantan, perkasa. Ciri
dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya
ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada
perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu
dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Misalnya
saja, zaman dahulu disuatu suku tertentu perempuan lebih kuat dari laki-laki
yang lebih kuat. Juga, perubahan bias terjadi dari kelas ke kelas masyarkat
yang berbeda. Di suku tertentu, perempuan kelas bawah di pedesaan lebih kuat
dibandingkan kaum laki-laki. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat
perempuan dan laki-laki. Yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda
dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang
lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender.[1]
B. Kedaan Pendidikan Indonesia dengan Adanya Kesenjangan Gender
Berbagai program pemerintah seperti Program Sekolah
Satu Atap (menyatukan SD dan SMP), Pembangunan ‘Sekolah Kecil’, Sekolah Satelit
di daerah miskin dan terpencil, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Beasiswa
Siswa Miskin, Bantuan Langsung Tunai
dan Dana Alokasi Khusus telah berhasil
mengurangi hambatan akses terhadap pendidikan. Tahun 2009, Indeks Paritas
Gender (IPG) nasional melek huruf untuk kelompok usia 15-24 tahun hampir 100,
dengan tingkat melek huruf perempuan sebesar 99,4% dan laki-laki 99,5% (lihat
Gambar 1). Namun, di 16 propinsi tingkat melek huruf untuk perempuan kelompok usia ini
masih sedikit dibawah laki-laki, (Bappenas. 2010).
Indonesia telah mencapai kemajuan yang signifikan dalam
kesetaraan gender untuk Angka Partisipasi Murni (APM) di tingkat nasional.
Tahun 2009, IPG di sekolah dasar (SD / MI / Paket A) adalah 99,73, sementara di
sekolah menengah pertama (SMP/MTs/Paket B) 101,99, sekolah menengah atas
(SMA/MA/Paket C) 96,16, dan pendidikan tinggi 102,95. Disparitas antar propinsi
dan dalam propinsi yang sama tetap ada. angka transisi dari SD ke SMA anak
laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan. Data tingkat propinsi menunjukkan
bahwa 11 propinsi memiliki kesenjangan paritas gender yang sangat signifikan
untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu sekitar 10-23%
lebih tinggi untuk anak laki-laki. Ada 4 propinsi di mana angka transisi anak
perempuan mencapai 4% lebih tinggi dibanding lakilaki dan satu propinsi di mana
angka transisi anak perempuan hampir 48% lebih tinggi dibanding laki-laki.
Data Susenas 2009 menyoroti tanggapan yang responsif
gender yang diberikan oleh populasi usia 7-18 tahun terkait alasan putus
sekolah. Kurangnyakemampuan menjadi masalah utama bagi laki-laki, dengan 10,78%
di antaranya mengatakan bahwa mereka putus sekolah untuk bekerja dan memperoleh
penghasilan, dibanding 8,69% perempuan. Adat masih merupakan faktor kuat yang
mempengaruhi akses dan pernikahan dini masih menjadi penghalang utama. Sebanyak
6,07% perempuan menjadikan ini sebagai alasan putus sekolah dibanding 0,14%
laki-laki. Prevalensi pernikahan dini dapat ditemukan di Indramayu, Jawa Barat
dan di beberapa kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur. Peraturan terkait
dukungan sekolah terhadap perempuan usia sekolah yang sudah menikah, hamil atau
ibu-ibu muda,tidak jelas. Jarak sekolah, permasalahan keselamatan dan biaya
terkait perjalanan jarak jauh juga menjadi penghalang untuk melanjutkan
pendidikan bagi lebih dari 0,32%
perempuan dibanding 0,66% laki-laki di kota dan 4,18% perempuan dibanding 3,98%
laki-laki di wilayah perkotaan dan terutama di pedesaan (BPS-Susenas, 2009).
Terbatasnya fasilitas sanitasi yang terpisah bagi perempuan, yang dibutuhkan
untuk keperluan menstruasi berpengaruh terhadap kerutinan kehadiran di sekolah.
Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa adanya toilet terpisah di Madrasah
menaikkan angka transisi anak perempuan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi
dengan rata-rata 5 persen poin, dibanding sekolah-sekolah yang tidak memiliki
fasilitas tersebut, (Austen et al, 2009).
Mengingat bahwa lebih banyak perempuan daripada laki-laki
yang bersekolah di SMP dan SMA madrasah, dimana 48,5% perempuan di MI, 50,8% di
MTs, dan 54,3% di MA pada tahun 2008/2009, maka program peningkatan kualitas di
Madrasah dan pelatihan pengarusutamaan gender bagi kader pendidik perempuan dan
laki-laki agar mereka memiliki perspektif gender, akan memberikan kontribusi
pada upaya kesetaraan gender dan penurunan kesenjangan ekonomi, karena sekolah
sekolah ini menerima banyak siswa miskin. Untuk mengatasi struktur patriarki
yang masih dominan dalam sistem pendidikan Islam di Indonesia, dibutuhkan
pedoman dan sumberdaya yang memadai untuk melaksanakan pengarusutamaan gender
di semua jenjang pendidikan. Pemerintah tengah merumuskan pedoman
pengarusutamaan gender untuk Madrasah, yang harus disebar-luaskan dan ini
membutuhkan pengembangan kapasitas disemua tingkat untuk memastikan pelaksanaannya.
Untuk itu, harus diperhitungkan perlunya interpretasi ajaran Islam yang
menggunakan perspektif gender atau bahkan perspektif perempuan yang lebih
terbuka. Interpretasi ini perlu dimasukkan dalam kurikulum dan buku teks,
dan/atau instrumen politik yang digunakan untuk tujuan memfasilitasi
tercakupnya aspek-aspek tersebut. Semua Pusat Studi Wanita IAIN/UIN menekankan
pentingnya penggunaan pendekatan gender dalam studi mengenai Islam dan
berkomitmen untuk menggunakan hasilnya untuk mereformasi kurikulum dan buku
teks. Terbatasnya pendanaan menghambat dilakukannya lebih banyak inisiatif
penelitian yang inovatif dan kegiatan pengarusutamaan gender lainnya di tingkat
pendidikan tinggi, (Kull, 2009). Sebagai contoh, sudah banyak buku teks yang
menggunakan perspektif gender diproduksi bagi siswa perguruan tinggi jurusan
studi Islam di UIN Jakarta. Namun, buku-buku ini tidak dicetak karena kurangnya
dana. Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Yogyakarta merekomendasikan perumusan
kebijakan yang jelas, yang mengatur pembagian tugas antara laki-laki dan
perempuan dalam setiap kegiatan, termasuk dalam posisi kepemimpinan, manajemen
dan akademik. Mereka menekankan perlunya memasukkan perspektif gender secara
eksplisit dan implisit dalam kurikulum serta pelatihan bagi semua guru yang
melaksanakan pengarusutamaan gender, (Kull, 2009).
Kesetaraan
gender dinyatakan sebagai prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014. Meskipun tidak ada target gender
yang spesifik, pengarusutamaan prioritas pendidikan dalam RPJM 2010-2014 harus
didukung oleh analisa gender yang sistematis. Analisa menyangkut antara lain: a)
Peningkatan angka rata-rata tetap sekolah siswa usia 15 tahun keatas; b)
Penurunan tingkat buta aksara populasi usia 15 keatas; c) Peningkatan APM di
SD; d) Peningkatan APM di SMP; e) Peningkatan
angka partisipasi kasar di SMA; f ) Peningkatan angka partisipasi kasar di
universitas kelompok usia 19- 23 tahun, dan g) Penurunan kesenjangan dalam partisipasi
dan mutu pelayanan pendidikan. Peningkatan yang signifikan dalam alokasi
anggaran (20%) mencerminkan komitmen Pemerintah terhadap upaya perbaikan
pendidikan. Inisiatif penting yang dilakukan pada tahun 2010 adalah
dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan No.119/2009 tentang pelaksanaan
anggaran responsif gender di tujuh instansi pemerintah, termasuk Kemendiknas.
Propinsi yang kaya sumberdaya bisa mempercepat kemajuan dengan menyediakan dana
pendamping untuk program-program pemerintah yang ada, seperti beasiswa bagi
siswa perempuan dan laki-laki miskin untuk menghilangkan disparitas gender
(APM, putus sekolah dan transisi) di kabupaten/kota yang membutuhkannya. Untuk
kabupaten/kota yang miskin sumberdaya, perlu dipertimbangkan perumusan strategi
beasiswa dan perluasan sumberdaya. Untuk itu, perancangan
system pendidikan yang berlandaskan pada nilainilai kemanusiaan, menjadi bagian
sangat penting untuk dilakukan, guna meningkatkan kualitas kehidupan manusia
sebagai makhluk social dan makhluk berpendidikan. Sebab, berbicara terkait
sejumlah isu mengenai Hak Asasi Manusia (HAM), akan sangat erat kaitannya
dengan perkembangan kehidupan manusia secara global. Agar dapat dijalankan
sebuah konsepsi, perlu dirancang sistem pendidikan Indonesia yang menjungjung
tinggi hak dasar bagi manusia dengan berlandaskan pada demokrasi pancasila,
agar mengarah pada perbaikan dalam bidang Hak Asasi Manusia (HAM) pendidikan
Indonesia, pemikiran dari James A. Beane dan Micchael W. Apple dapat menjadi
rujukan yang cukup tepat, untuk Indonesia sebab sebagaimana pernyataannya
bahwa: Pendidikan demokratis tiada lain adalah mengimplementasikan pola-pola
demokratis dalam pengelolaan pendidikan, yang secara umum mencakup dua aspek,
yakni struktur organisasi dan prosedur kerja dalam struktur tersebut, serta merancang
kurikulum yang bisa mengantarkan pribadi Indonesia memiliki berbagai pengalaman
tentang prakti-praktik demokrasi. Dengan kata lain pendidikan demokratis adalah
pendidikan yang dikelola dengan memungkinkannya praktik-praktik demokratis itu
terlaksana.
C. Hubungan Gender Dengan Pendidikan
Kesetaraan gender berarti kesamaan
kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta
hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam
kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan
keamanan, serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Dengan
kata lain, penyetaraan gender tersebut dijalankan secara proporsional.
Peningkatan
yang signifikan dalam alokasi anggaran (20%) mencerminkan komitmen Pemerintah
terhadap upaya perbaikan pendidikan. Inisiatif penting yang dilakukan pada
tahun 2010 adalah dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan No.119/2009 tentang
pelaksanaan anggaran responsif gender di tujuh instansi pemerintah, termasuk
Kemendiknas. Propinsi yang kaya sumberdaya bisa mempercepat kemajuan dengan
menyediakan dana pendamping untuk program-program pemerintah yang ada, seperti
beasiswa bagi siswa perempuan dan laki-laki miskin untuk menghilangkan
disparitas gender (APM, putus sekolah dan transisi) di kabupaten/kota yang
membutuhkannya. Untuk kabupaten/kota yang miskin sumberdaya, perlu
dipertimbangkan perumusan strategi beasiswa dan perluasan sumberdaya.
Pemerintah
memberikan beberapa rekomendasi bagi keadaan pendidikan yang sedikit terhambat
dengan adanya gender saan ini, yakni sebagai berikut :
Ø Kemendiknas, Kemenag dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan &
Perlingunan Anak (KPPA) mengkoordinasikan kebijakan dan strategi yang terfokus
pada penghapusan disparitas rasio gender untuk indikator pendidikan pada semua
jenjang pendidikan di tingkat propinsi dan kabupaten/ kota, serta memperkuat
pelaksanaan pengarusutamaan gender di semua tingkatan di bidang pendidikan.
Ø Kemendiknas mengkaji
kemajuan yang dicapai dalam pelaksanaan Peraturan Menteri No. 84/2008 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pendidikan di tingkat sekolah dan kabupaten/kota
dan untuk memperkuat pelaksanaan Keputusan Menteri yang bertujuan mencapai
pendidikan yang responsive gender dengan pengembangan kapasitas di semua
tingkatan dalam sistem pendidikan.
Ø Kemendiknas dan Kemenag melakukan penilaian terhadap sejumlah
sekolah sampel di beberapa lokasi geografis yang berbeda tentang cara-cara
pengintegarsian kebijakan gender dalam rencana dan pelaksanaan manajemen
sekolah.
Ø Kemendiknas dan Kemenag mengkaji dengan menggunakan perspektif
gender, Peraturan Pemerintah tentang Anggaran propinsi dan kabupaten/ kota, dan
Peraturan Kemendagri No. 13/2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan
Keputusan Menteri Keuangan No. 119/2009 tentang Anggaran responsif gender.
Ø Kemendiknas dan Kemenag memberikan lebih banyak perhatian pada
propinsi yang belum berhasil dalam menurunkan rasio paritas gender, transisi
dan angka putus sekolah, dengan membuat rancangan strategi berdasar kebutuhan
yang ada, dengan memperhitungkan faktor-faktor dasar yang berkontribusi
terhadap rendahnya pencapaian indikator di propinsi dan kabupaten/kota.
Ø Kemendiknas mempercepat program pelatihan yang ada untuk
meningkatkan kapasitas pengumpulan data terpilah berdasar gender, analisa dan
perencanaan dan penganggaran responsif gender di tingkat propinsi dan
kabupaten/kota untuk indicator tertentu.
Ø Mempercepat program yang ada yang terkait akses pendidikan dan
memprioritaskan propinsi yang memiliki kesenjangan paritas gender yang
signifikan dalam indikator pendidikan. Ini termasuk Program Sekolah Satu Atap
(gabungan SD & SMP), Sekolah Kecil, Sekolah Satelit di daerah miskin dan
terpencil dan program Bantuan Langsung Tunai Bersyarat. Meningkatkan cakupan
dan kualitas program pemerataan (Paket A, B dan C), khususnya jika disparitas
rasio gender terjadi pada angka putus sekolah untuk meningkatkan akses terhadap
pendidikan berkualitas. Perlu juga dilakukan kajian untuk melihat efektifitas
skema yang digunakan untuk mengatasi kesenjangan gender.
Ø Mengembangkan kebijakan dan mensinkronisasinya di tingkat nasional,
daerah dan sekolah untuk memastikan
bahwa perempuan yang menikah dini, hamil dan ibu muda bisa melanjutkan
pendidikan. Melaksanakan kampanye untuk membangun kesadaran akan pentingnya
mengurangi insiden pernikahan dini dan mendorong kelangsungan pendidikan bagi
laki-laki, dan apalagi perempuan, yang menikah dini.
Ø Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan/LPTK perlu mengkaji
kurikulum pelatihan guru untuk memperbaiki penyusunan materi dan keterampilan
mengajar sehingga responsif gender.
Ø Kemendiknas dan Kemenag mengkaji dan meningkatkan penyediaan buku
teks pelajaran yang peka gender pada semua tingkat pendidikan, termasuk teks,
gambar dan akses yang sama terhadap kegiatan ekstra-kurikuler olahraga, seni
dan sains.
Ø Kemendiknas memastikan mekanisme pembiayaan pendidikan bersifat
responsif gender. Misalnya, ketika membiayai infrastruktur dan rehabilitasi
sekolah baru, dan merancang bangunan sekolah, maka harus memenuhi kebutuhan
praktis lakilaki dan perempuan. Di SMP dan SMA, perlu ada fasilitas sanitasi
yang terpisah dan memadai bagi perempuan, untuk keperluan terkait menstruasi.
Kemendiknas dan Kemenag merumuskan kebijakan yang jelas, yang mengatur
penempatan laki-laki dan perempuan yang memenuhi kualifikasi di semua kegiatan
pendidikan (termasuk pendidikan Islam), terutama dalam posisi kepemimpinan,
manajemen, dan akademik di semua tingkatan pendidikan (sistem sejenis sudah
terlaksana di lapangan dengan adanya perwakilan dalam partai politik dan
parlemen).
Pengarus utamaan
gender di Kementerian diamanatkan melalui Keputusan Presiden no. 9/2000 tentang
Pengarusutamaan Gender. Kemendiknas merupakan salah satu Kementerian yang
pertama kali dilibatkan dalam pengembangan rencana pengarusutamaan gender dan
penunjukkan focal point gender. Tahun 2005 dihasilkan dokumen yang
berisi ketentuan pengarusutamaan gender, yang kemudian diikuti dengan
dikeluarkannya Peraturan Menteri No.84/2008 untuk sektor ini. Kantor
Kepresidenan dan Kemendiknas menghasilkan kerangka legislasi dan peraturan yang
komprehensif, termasuk Keputusan Presiden khusus untuk pemberantasan buta
aksara dan pencapaian 9 tahun pendidikan dasar bagi semua anak, yang berdasar
pada Undang Undang Pendidikan Nasional No. 20/2003 yang telah direvisi. Masih
diperlukan analisa untuk mengetahui apakah konteks kebijakan ini sudah cukup
untuk melaksanakan pengarusutamaan gender dengan berhasil. Juga masih
diperlukan asesmen tentang peluang dan kendala di tingkat kebijakan. Instrumen perencanaan
kebijakan seperti pemetaan sekolah yang dilakukan secara partisipatif dan
kualitatif, dan survei tingkat kepuasan orangtua terkait akses, kualitas dan
dampak pada retensi dan transisi anak perempuan dan laki-laki, dapat digunakan
sebagai masukan bagi perencanaan dan pengembangan sumberdaya selanjutnya.
Kajian perlu juga ditujukan untuk melihat bagaimana pandangan orangtua berpengaruh
pada angka putus sekolah dan kinerja mereka di sekolah dan ini dapat menjadi
masukan untuk persiapan kampanye yang ditujukan bagi peningkatan kesadaran orang
tua. Sebagai contoh, pemetaan sekolah dikembangkan dan dilaksanakan oleh
Kemendiknas dan UNICEF sementara survey kepuasan dilaksanakan di Kabupaten
Indramayu oleh Bappenas bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor, yang
didukung oleh program PRMAP ADB.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
·
Kata “gender” berasal dari
bahasa Inggris, gender berarti “jenis kelamin”, dimana sebenarnya
artinya kurang tepat, karena dengan demikian gender disamakan pengertiannya
dengan sex yang berarti jenis kelamin. Dalam Webster’s New World
Dictionary gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki
dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku (Neudfeldt dalam Umar,
1999). Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah
konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal
peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional laki-laki dan
perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Tierney dalam Umar, 1999).
Meskipun kata gender belum masuk
dalam pembendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah tersebut sudah lazim
digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan
ejaan “jender”. Jender diartikan sebagai “interprestasi mental dan kultural
terhada perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan”. Jender biasanya
dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi
laki-laki dan perempuan.
·
Indonesia telah mencapai kemajuan yang signifikan dalam
kesetaraan gender untuk Angka Partisipasi Murni (APM) di tingkat nasional.
Tahun 2009, IPG di sekolah dasar (SD / MI / Paket A) adalah 99,73, sementara di
sekolah menengah pertama (SMP/MTs/Paket B) 101,99, sekolah menengah atas
(SMA/MA/Paket C) 96,16, dan pendidikan tinggi 102,95. Disparitas antar propinsi
dan dalam propinsi yang sama tetap ada. angka transisi dari SD ke SMA anak
laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan. Data tingkat propinsi menunjukkan
bahwa 11 propinsi memiliki kesenjangan paritas gender yang sangat signifikan
untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu sekitar 10-23%
lebih tinggi untuk anak laki-laki. Ada 4 propinsi di mana angka transisi anak
perempuan mencapai 4% lebih tinggi dibanding lakilaki dan satu propinsi di mana
angka transisi anak perempuan hampir 48% lebih tinggi dibanding laki-laki.
Daftar
Pustaka
TENGAH, Jawa; DAERAH, Dewan Riset.
GENDER DAN PENDIDIKAN. 2001.
Abdullah, Irwan. "Penelitian Berwawasan Gender dalam
Ilmu Sosial." Jurnal Humaniora 15.3 (2012).
Martadi, Indiana Farid, and Sri Suranta. "Persepsi
Akuntan, Mahasiswa Akutansi, dan Karyawan Bagian Akutansi dipandang dari Segi
Gender Terhadap Etika Bisnis dan Etika Profesi (Studi di Wilayah
Surakarta)." Simposium Nasional Akuntansi (SNA) IX. Padang (2006):
23-26.
Kementrian Pemberdayaan perempuan dan Anak Republik
Indonesia, Policy Brief kertas kebijakan Gender Equality, indo idd